SIAPAKAH ULAMA PEWARIS NABI ?
Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda :
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris Nabi-nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham dan mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa-siapa yang mengambilnya berarti dia telah mengambil bahagian yang sempurna”.
(Hadits ini shahih, dan Imam Turmuzi, Ibnu Majah juga meriwayatkan Hadits tersebut.)
PELAJARAN DARI HADITS
Memanglah benar, jika Nabi adalah seorang yang kaya lalu memawariskan uang kepada umatnya maka justru yang ada hanya saling berselisih dan bunuh-membunuh berebut harta. Apalagi harta itu adalah sifatnya terbatas dan mudah sirna. Jika manusia tidak bisa mengelola dan mengembangkan walaupun itu adalah emas sebesar bumi maka akan habis juga. Maka dari itulah yang Maha Bijaksana memberikan Ilmu kepada Nabi-Nya sebagai warisan untuk umatnya agar menjadi manusia-manusia yang sejahtera dan bahagia tidak saja didunia melainkan juga diakhirat yang kekal. Ilmu bersifat tidak terbatas, dapat dikembangkan dan semakin dipelajari semakin pula menambah keuntungan bagi yang mempelajarinya. Ilmu adalah pedoman petunjuk jalan mana yang baik dan mana yang salah, mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan.
Jika manusia itu tidak mau belajar Ilmu (khususnya ilmu agama) maka tak ubahnya seperti hewan. Kesibukannya hanya untuk muasin perut dan nafsu syahwat. Segala sesuatu yang dia cari bukan untuk yang manfaat tapi malah digunakan untuk yang bersifat madharat. Orang yang bodoh tapi kaya lama-kelamaan hartanya akan habis karena dia tidak bisa mengelola hartanya, tapi orang yang pandai namun dia orang yang kekurangan harta pasti hidupnya serba kecukupan jika dia mau mengembangkan harta yang sedikit itu dengan ilmu sehingga harta itu selalu bertambah karena dia bisa mengelolanya.
Apalagi orang yang diberi titipan oleh Allah berupa Ilmu agama yang banyak maka sungguh dia adalah orang yang beruntung karena dia adalah orang yang ‘melek ‘tentang apa-apa yang ada di dunia yang hakikatnya semua adalah menipu, menjebak, melalaikan, melenakan, memperdayakan manusia dari kehidupan yang kekal (akhirat). Inilah sifat ulama dia adalah orang yang mengutamakan kehidupan yang sebenarnya daripada kehidupan fana, maka pantaslah jika ulama juga adalah seorang yang berkuasa lagi banyak harta yang bahagia bukan dirinya tapi justru rakyatnya.
Kita dapat menengok kisah-kisah zaman Rasulullah dan sahabatnya para khulafaurrasyidin yang dirahmati-Nya mereka menjadi seorang pemimpin yang besar namun tidak mempunyai sifat untuk berkuasa dan ingin menang sendiri, apalagi sampai rela menindas rakyatnya hanya untuk kepentingan pribadi semata. Justru jika kita dapat mengambil pelajaran mereka adalah orang-orang yang kehidupannya justru sangat sederhana sampai-sampai orang tidak bisa membedakan mana pemimpin dan mana rakyatnya, karena dari ciri-ciri fisik mereka yang berpakaian lusuh, tidurnya beralas daun, rumahnya yang sederhana bahkan tak pernah dikawal siapapun waktu dia inspeksi (mengengok) keadaan rakyatnya dan sebagainya.
Inilah sifat ulama yang sebenarnya yang patut kita jadikan teladan yang sebenarnya. Sangat berbeda sekali dengan pemimpin jaman kita yang waktunya dihabiskan enak-enakan dikursi istana yang empuk dengan jamuan-jamuan makanan yang serba wah serta pakaian-pakaian yang dikenakan serba mahal. Sementara rakyatnya amat menderita kemiskinan yang luar biasa sampai-sampai ada yang tinggal kulit dan tulang. Sungguh jika anda (penguasa) berbuat demikian maka tanggung jawab pemimpin itu tidak gampang ada satu rakyat saja yang kepalaparan sementara anda makan enak sungguh itu dosa yang amat besar karena menyia-nyiakan tanggung jawab.maka sekarang jika anda bisa berpikir karena begitu besarnya amanah yang dipikul, maukah anda jadi seorang presiden atau semacamnya? memang didunia anda seperti raja yang hidupnya serba ada tapi jika anda tidak adil sungguh terlalu berat beban anda diakhirat!.
Demikan tingginya kedudukan ulama’ di dalam Islam mereka mendapatkan kemuliaan yang tinggi disisi Tuhan Semesta Alam karena Allah tidak memandang manusia dari rupanya, banyak hartanya atau jabatannya tapi Allah memandang manusia dari tingkat ketakwaannya. Sehingga Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menyembut mereka sebagai pewaris para nabi. Karena ditangan merekalah risalah ini akan menyebar dan akan sampai ke dalam hati-hati hamba Allah. Menyelematkan mereka dari kegelapan jahiliyah dan menuntun ummat menuju jannah. Hidup mereka semata-mata hanya untuk Allah, yaitu untuk menegakkan kebenaran dengan dakwah islam yang lurus mereka habiskan seluruh waktu, kesehatan, harta benda untuk berjuang dijalan yang benar. Maka amat beruntunglah orang yang dekat dengan pewaris nabi (ulama) itu.
Selain dari yang baik tentu saja ada yang buruk. Begitu juga dengan ulama. Tidak semua ulama itu merupakan pewaris Nabi. Ada sekelompok manusia yang mirip (bertopeng) ulama tapi hakikatnya Cuma penampilan. Mereka adalah manusia-manusia munafiq yang gila harta, cinta dunia dan kedudukan. Ilmu mereka semata-mata hanya untuk mencari kesenangan dunia yang sementara. Sungguh merugilah orang yang seperti ini. Banyak umat tersesat karenanya. Mereka adalah manusia bertipe “penjilat” (baca:anjing) yang merengek-rengek kepada penguasa, apa yang penguasa anggap benar menurut ulama jahat ini juga benar mereka tidak mau ambil pusing entah itu dibenarkan agama atau tidak . Begitu pula penguasa yang bertipe singa (diktator, dan menerapkan hukum rimba) maka jika mereka bersekongkol dengan ulama jahat maka itu maka tidak lain rakyat kecil hanya akan menjadi umpan kebuasan penguasa. Sabda Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wassalam :
يَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ رِجَالٌ يَخْتَلُونَ الدُّنْيَا بِالدِّينِ يَلْبَسُونَ لِلنَّاسِ جُلُودَ الضَّأْنِ مِنْ اللِّينِ أَلْسِنَتُهُمْ أَحْلَى مِنْ السُّكَّرِ وَقُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الذِّئَابِ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبِي يَغْتَرُّونَ أَمْ عَلَيَّ يَجْتَرِئُونَ فَبِي حَلَفْتُ لَأَبْعَثَنَّ عَلَى أُولَئِكَ مِنْهُمْ فِتْنَةً تَدَعُ الْحَلِيمَ مِنْهُمْ حَيْرَانًا
“Akan muncul di akhir zaman orang-orang yang mencari dunia dengan agama. Di hadapan manusia mereka memakai baju dari bulu domba untuk memberi kesan kerendahan hati mereka, lisan mereka lebih manis dari gula namun hati mereka adalah hati serigala (sangat menyukai harta dan kedudukan). Alloh berfirman, “Apakah dengan-Ku (kasih dan kesempatan yang Kuberikan) kalian tertipu ataukah kalian berani kepada-Ku. Demi Diriku, Aku bersumpah. Aku akan mengirim bencana dari antara mereka sendiri yang menjadikan orang-orang santun menjadi kebingungan (apalagi selain mereka) sehingga mereka tidak mampu melepaskan diri darinya.” (HR: Tirmidzi)
Memang begitu hebatnya fitnah ulama suu’ ini sampai-sampai orang yang baikpun (ulama) menjadi kebingungan menghadapi manusia seperti itu. Mulutnya memang lebih licin daripada seekor belut mampu mebolak balikkan fakta. Yang baik seakan-akan menjadi dianggap jelek oleh masyarakat awam dan begitu pula yang mungkar pun dianggap sebagai hal yang baik karena kata-kata yang beracun itu benar-benar meluluhkan hati masyarakat sehingga walaupun salah tetap saja banyak yang membela mati-matian. Bahkan orang demikian dianggap waliyullah (wali Allah) oleh pengikutnya, naudzubillah.
Sebagai seorang muslim kita patut waspada memilih ulama sebagai teladan bagi kita karena jika salah pilih maka akan ikut tersesat ke neraka bersama mereka naudzubillah,
berikut adalah sebagian dari sifat sifat seorang, alim yang menjadi pewaris paranabi dan menjadi pembimbing ummat menuju jalan yang lurus yang patut menjadi teladan bagi kita :
berikut adalah sebagian dari sifat sifat seorang, alim yang menjadi pewaris paranabi dan menjadi pembimbing ummat menuju jalan yang lurus yang patut menjadi teladan bagi kita :
CIRI-CIRI ULAMA PEWARIS NABI
Berikut beberapa sifat ulama hakiki yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Dengan semua ini, jelaslah orang yang berpura-pura berpenampilan ulama dan berbaju dengan pakaian mereka padahal tidak pantas memakainya. Semua ini membeberkan hakikat ulama jahat yang mana mereka bukan sebagai penyandang gelar ini.
Menurut Imam Ibnu Rajab al-Hambali ciri-ciri ulama yang benar adalah sebagai berikut ;
§ Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan mengatakan: “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.” (Al-Khithabul Minbariyyah, 1/177)
§ Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”
§ Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau mendekatinya.”
Dari kutipan perkataan Imam Ibnu Rajab diatas adalah paling tidak ciri ulama yang haq adalah tidak pernah bangga dengan sebesar apapun ilmunya dan tidak menginginkan pangkat, jabatan, kedudukan atau pujian.
Secara umum dapat kita lihat ciri –ciri mereka :
Pertama : Mereka menjauhi penguasa dan menjaga diri mereka.
Hudzaifah bin Yaman menasehatkan: “Hindari oleh kalian tempat-tempat fitnah.” Beliau ditanya:”Apa itu tempat-tempat fitnah.”Beliau menjawab:’(tempat- tempat fitnah) adalah pintu-pintu para penguasa. Salah seorang diantara kalian masuk menemui seorang penguasa, lantas dia akan membenarkan penguasa itu dengan dusta dan menyatakan sesuatu yang tidak ada padanya.”
Said bin Musayyib menegaskan:”Jika kamu melihat seorang alim bergaul
dengan penguasa, maka hati-hatilah darinya karena sesungguhnya dia adalah pencuri.”
Sebagian Salaf menjelaskan:”Sesungguhnya tidaklah kamu mendapatkan
sesuatu kehidupan dunia (dari para penguasa) melainkan mereka telah memperoleh dari agamamu sesuatu yang lebih berharga darinya.”
sesuatu kehidupan dunia (dari para penguasa) melainkan mereka telah memperoleh dari agamamu sesuatu yang lebih berharga darinya.”
Betapa banyak kita saksikan para ulama’ yang menjadi teman dekat para penguasa telah merubah hukum dan aturan-aturan Islam. Yang halal diharamkan, sebaliknya yang haram dihalalkan. Apalagi yang muncul di tv-tv mereka lebih mengedepankan dakwah yang isinya cenderung memberikan manfaat kepada sistem politik para penguasa.
Kedua : Mereka tidak terburu-buru dalam berfatwa (sehingga mereka tidak berfatwa kecuali setelah menyakini kebenarannya).
Adalah para Salaf saling menolak untuk berfatwa sampai pertanyaan kembali lagi kepada orang yang pertama (di tanya). Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan kisahnya: Aku pernah mendapati di masjid (nabi) ini 120 orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka saat ditanya tentang suatu hadits atau fatwa melainkan dia ingin saudaranya (dari kalangan shahabat yang lain) yang menjawabnya. Kemudian tibalah masa pengangkatan kaum-kaum yang mengaku berilmu saat ini. Mereka bersegera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kalau seandainya pertanyaan ini dihadapkan kepada Umar bin Khattab, niscaya beliau mengumpulkan ahli Badar untuk di ajak bermusyawarah dalam menjawabnya.
Sedangkan hari ini kita lihat bersama. Semua orang gampang untuk berfatwa. Bahkan mereka tidak segan menjawab berbagai pertanyaan yang tidak mereka ketahui karena malu pamor mereka turun. Persisi keadaan kita hari ini dengan sebuah hadist nabi sallallahu alaihiwasallam :
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga bila tidak tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan menyesatkan (orang lain)
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy 1/163-164 dan Muslim no. 2673.]
Ketiga : mengamalkan ilmunya.
Seorang yang berilmu tapi tidak mau mengamalkan seperti orang-orang yahudi. Sebaliknya, beramal tanpa ilmu adalam menyerupai orang-orang nasrani. Kita diajarkan oleh Allah Ta’ala untuk selalu berdo’a dalam shalat kita :
اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [ Al Fatihah 6 – 7 ].
Seorang ulama’ tidak hanya dilihat omongannya. Tetapi yang lebih diperhatikan oleh para muridnya adalah perbuatannya. Apa artinya omongan yang lantang dan tegas serta memukau akan tetapi amalannya jauh dari apa yang disampaikan.
Sahabat ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Sesungguhnya manusia semua pandai bicara, maka barangsiapa ucapannya sesuai dengan perbuatannya, itulah orang yang mendapatkan bagiannya, dan barangsiapa perbuatannya menyalahi ucapannya maka sesungguhnya ia sedang mencaci dirinya.” [Jami’ bayanil ‘ilmi 1/696]
Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata: “Engkau tidak akan menjadi seorang alim hingga engkau menjadi orang yang belajar. Dan engkau tidak dianggap alim tentang suatu ilmu, sampai engkau mengamalkannya.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Seorang alim senantiasa dalam keadaan bodoh hingga dia mengamalkan ilmunya. Bila dia sudah mengamalkannya, barulah dia menjadi alim.” (Diambil dari ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)
Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita kekuatan untuk biasa memilih para ulama’ yang baik. Dan jika kita hari ini Allah takdirkan menjadi seorang guru ataupun ustadz dan juga ulama’, kita berusaha untuk memenuhi sifat-sifat tersebut.
Demikian kajian yang kami sampaikan. Ada benarnya datangnya dari Allah Ta’ala, dan jika ada salahnya datangnya dari saya karena bisikan syaitan yang terlaknat.
Semoga bermanfaat, amien
Refrensi :
An-najah.net
Darussalaf.or.id
Komentar
Posting Komentar